Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.



BIOGRAFI

Nama                           :           Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.
                                                ( Ki Hajar Dewantara )          
Tempat/tanggal lahir   :           Yogyakarta, 02 Mei 1889
Status                          :           Pahlawan Pergerakan Nasional
( Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305/ Tahun 1959, tanggal 28 Nopember 1959 )

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
            Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS ( Sekolah Dasar Belanda ) Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA ( Sekolah Dokter Bumiputera ), Tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyatomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
            Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker    ( Dr. Danudirdja Setyabudhi ) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij  ( partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia ) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia Merdeka.
            Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
            Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumiputra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Bumiputra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
            Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was ( Seandainya Aku Seorang Belanda ) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een ( Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga ). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Express milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi :
“ Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyusuh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu ! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan – kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun “.
            Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering ( hukum buang ) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tingggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
            Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerintah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang ke Kupang dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke Pulau Banda.
            Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
            Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa ( Perguruan Nasional Tamansiswa ) pada 03 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintangi dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 01 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
            Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman siswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
            Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintahan Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat    ( Putera ) dalan tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir.Soekarno , Drs. Mohammad Hatta dan K. H. Mas Mansur.
            Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hajar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan ( Bapak Pendidikan Nasional ) yang tanggal kelahirannya 02 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No. 305/tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
            Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Taman siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
            Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
            Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri Handayani ( di belakang memberi dorongan ), ing madya mangun karsa ( di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa ), ing ngarsa sung tuladha ( di depan memberi teladan ).      


Artikel

Peran Psikologi dalam Investigasi Kasus Hukum di Indonesia

Peran Psikologi dalam Investigasi Kasus Hukum di Indonesia Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga ...

Artikel Populer