Standard Progressive Matrices (SPM)

Standard Progressive Matrices (SPM) merupakan tes untuk mengungkap kemampuan memahami figur yang tidak berarti dengan mengobservasi dan berpikir jernih pada saat mengerjakan tes tersebut, kemudian melihat hubungan-hubungan antara figur-figur yang ada dan akhimya mengembangkan penalaran, tes ini untuk melengkapi Mill Hill Vocabulary Scale (MHVS) yang mengungkap kemampuan mengingat kembali informasi yang telah didapat dan yang disimpan dalam ingatannya (Raven,1960).
Anastasi (1988) mengatakan SPM mengukur faktor "g" dari Spearman, yaitu faktor umum yang dimiliki individu dan mendasari kemampuan manusia untuk melakukan hal-hal tertentu dan berperilaku tertentu. Jika ditinjau dari pemyataan Raven (1960) bahwa SPM melengkapi MHVS, maka sebetulnya faktor umum tersebut terdiri dari dua faktor yaitu verbal dan performance, seperti halnya pada WAIS, skalanya terdiri dari verbal dan performance.
Ahli lain, Cattell (dalam Vemon,1973) berpendapat bahwa kemampuan umum atau faktor "g" sebetulnya terdiri dari dua komponen yaitu fluid intelligence dan crystalized intelligence, kemudian disebut dengan Gf dan Gc (General fluid dan General crystalizea). Selanjutnya Cattell menjelaskan bahwa Gf adalah pengaruh bawaan dan biologis pada perkembangan intelek, sedangkan Gc adalah hasil interaksi kemampuan bawaandengan kebudayaan, pendidikan dan pengalaman.
Konsep Raven (1960) sebetulnya senada dengan konsep Cattell (dalam Vemon, 1973), yaitu SPM mengukur faktor Gf, sedangkan MHVS mengukur Gc, informasi yang disimpan dan diungkap dengan vocabulary adalah pengaruh dari lingkungan dan kebudayaan, tidak dibawa sejak lahir,sedangkan figur-figur tak berarti dalam SPM mengungkap kemampuan yang dibawa sejak lahir. Jadi tampaknya Anastasi (1988) menarik kesimpulan dari konsep Cattell di atas, mungkin lebih tepat jika dikatakan SPM mengukur sebagian dari faktor “g” yaitu Gf.
Materi SPM berupa sebuah buku yang berisi 60 gambar yang merupakan soalnya. Keenampuluh gambar tersebut dikelompokkan menjadi lima kelompok disebut set A, B, C, D, dan E, masing-masing terdiri dari 12 item. Setiap item terdiri dari satu gambar besar dengan bagian yang berlubang, ada gambar-.gambar kecil yang ukurannya sama dengan lubang tersebut untuk menutup lubang pada gambar besar. Untuk set A dan B disediakan enam gambar kecil sebagai pilihan, sedangkan untuk set C, D, E disediakan delapan pilihan.
Pada umumnya setiap set pada awalnya terdiri dari soal-soat yang mudah, kemudian meningkat semakin sukar. Tes ini dapat dikenakan pada semua umur, setiap subjek diberi tugas yang sama namun kecepatan mengerjakan sesuai dengan individu masing-masing. Jika ingin mengungkap kemampuan individu maka tes diberikan tanpa batas waktu, jadi kemungkinan memang subjek  dapat mengerjakan tapi waktunya cukup lama, jika ingin mengungkap efisiensi individu maka tes diberikan dalam batas waktu tertentu,  pada umumnya untuk SPM waktu yang dibutuhkan adalah 30 menit.
Skor SPM adalah jumlah jawaban yang betul, kemudian skor mentah ini diubah menjadi skala persentil. Skala persentil ini digolongan menjadi lima tingkatan yang merupakan tingkat inteligensi subjek (Raven, 1960) yaitu :

Grade  I           Intellectually superior untuk persentil 95 atau lebih.
Grade  II         Definitely above average untuk persentil 75 atau lebih.
Grade  III        Intellectually average untuk persentil antara 25 - 75.
Grade  IV        Definitely below average untuk persentil25 - 10.
 Grade  V         Intellectually defective untuk persentil di bawah 10.

Beberapa penelitian telah dilakukan di luar negeri dan diperoleh koefisien reliabilitas SPM dengan retest berkisar antara 0,7 dan 0,9, sedangkan korelasi dengan tes inteligensi verbal maupun performance koefisiennya berkisar antara 0,4 dan 0,75 (Anastasi, 1968). Penelitan oleh Masrun (1976) dilakukan terhadap siswa-siswa beberapa SMA di Daerah Istimewa Yoyakarta, dalam penelitian tersebut dihitung internal consistency validity, diperoleh angka korelasi antara 0,29 sampai dengan 0,58. Juga dihitung korelasi antara SPM dengan mata pelajaran Bahasa, Matematika, dan llmu Pengetahuan Alam, disimpulkan bahwa validitas SPM cukup meyakinkan untuk mengukur inteligensi siswa-siswa SMA.
Dalam penelitian ini tidak membicarakan lagi item-item dari SPM namun SPM secara keseluruhan, sesuai dengan kenyataan yang dilakukan selama ini bahwa SPM digunakan untuk mengukur inteligensi secara utuh sebanyak 60 item.
Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) adalah tes inteligensi yang banyak digunakan di Yogyakarta, penyajiannya secara individual dan dibutuhkan keahlian tertentu untuk menyajinya, sehingga penggunaannya dalam lingkungan terbatas. Tes ini dianggap masih cukup baik dan terkontrol penggunaannya dimasyarakat, maka dalam penelitian ini akan mengkorelasikan SPM dengan WAIS, dianggap jika ada korelasi yang positif, berarti SPM masih cukup baik untuk mengukur inteligensi.
Wechsler (1958) mendefinisikan, inteligensi sebagai kemampuan individu untuk berperilaku, bertujuan, berpikir secara rasional dan menyelesaikan masalah lingkungannya secara efektif. Menurut Anastasi (1988) WAlS mengukur faktor general, tes ini dikenakan pada individu mulai umur 16 tahun sampai dewasa. Tes ini disajikan secara individual yaitu seorang tester menghadapi seorang testi, membutuhkan waktu kira-kira 90 menit. Terdiri dari 11 subtes yang digolongkan menjadi dua yaitu Verbal dan Performance :
Verbal
Performance
1. lnformasi
2. Penelitian
3. Hitungan
4. Persamaan
5. Rentangan Angka
6. Perbendaharaan Kata
1. Simbol Angka
2. Melengkapi Gambar
3. Rancangan Balok
4. Mengatur Gambar
5. Merakit Objek

Dari kesebelas subtes tersebut diperoleh skor mentah, masing-masing harus diubah dulu ke dalam skor standard, kemudian skor standard tersebut dijumlahkan sesuai dengan komponennya yaitu verbal dan performance, total dan verbal dan performance adalah Full. Total standard skor dikonsultasikan dengan tabel IQ sesuai dengan usia subjek. Hasilnya berupa Verbal lQ, Performance IQ, dan Full IQ yang merupakan IQ dwiasi dengan mean 100 dan SD 15 (Wechsler, 1958).
Reliabilitas kesebelas subtes WAlS dihitung pada kelompok umur 18-19 tahun, 24-34 tahun, dan 45-59 tahun sebagai sampel dari 10 kelompok umur yang disusun oleh Wechsler. Perhitungan reliabilitas menggunakan teknik genap ganjil formula Spearman Brown, kecuali Digit Span dan Digit Simbol. Untuk Digit Span mengkorelasikan antara digit foreward dengan digit backwad, sedangkan Digit symbol dikorelasikan dengan Subtes Digit Symbol dari W-B (Wechsler Bellevue). Diperoleh hasil reliabilitas untuk Full Scale = 0,97; Verbal Scale = 0,96; dan Performance Scale = 0,93. Standard Erorr Measurement berturut-turut adalah 2, 6, 3, dan 4 (Anastasi, 1968).
Validitas kesebelas subtes WAlS dilakukan dengan Content Validity menurut Wechsler (dalam Anastasi,1968) kesebelas subtes tersebut sudah sesuai dengan definisi inteligensi yang diajukan. Selanjutnya menurut Anastasi (1968) Wechsler juga menghitung concurrent validity yaitu mengkorelasikan WAlS dengan prestasi belajar murid-murid sekolah, diperoleh angka korelasi sebesar 0,4, korelasi WAlS dengan Stanford-Binet = 0,8, dan korelasi dengan SPM sebesar 0,7.
Penelitian oleh Soeramto (1986) mengenai kesahihan, keandalan, dan faktor-faktor inteligensi yang diungkap WAIS, dengan menggunakan hasil tes WAIS dari biro konsultasi Fakultas Psikologi, menyimpulkan bahwa WAlS cukup sahih untuk mengungkap inteligensi, juga cukup andal dengan koefisien keandalan antara 0,453 sampai dengan 0,973, sedangkan faktor-faktor inteligensi yang dapat diungkap adalah visualization, verbal comprehension, memory, perceptual speed, reasoning, information, perceptual organization.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah:
1. Ada hubungan posifif antara SPM dengan WAlS Full IQ.
2. Ada hubungan positif antara SPM dengan WAlS Verbal IQ dan Performance IQ.

Tugas perkembangan


Tugas perkembangan
Tugas perkembangan (developmental task) menurut Havighurst adalah tugas yang muncul atau tugas  yang  harus diselesaikan seseorang pada periode / tahapan kehidupannya. Jika tugas tersebut berhasil / sukses akan memperoleh kesenangan, pujian dari lingkungan dan memperlancar tugas berikutnya. Namun bila gagal dalam tugas perkembangan akan mendapatkan kesedihan, kecewa, stress, celaan dari lingkungan dan menghambat tugas berikutnya.   
Subjek pertama telah menerima perubahan dan kondisi fisiknya dan berperan sesuai dengan perannya sebagai anak dan pelajar. Menurut Eysenck (1972), perkembangan fisik yang mencolok pada remaja terjadi setelah mereka mengalami kemasakan seksual yang mempengaruhi perkembangan struktur tubuhnya. Bersamaan dengan terbentunya struktur tubuh pada remaja, tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah menerima kondisi fisiknya dan berperan sesuai dengan jenisnya. Peran jenis dalam kehidupan sehari-hari merupakan perilaku spesifik yang diharapkan dan sebagai standar yang diterapkan pada laki-laki dan perempuan. Kalau terjadi penyimpangan subjek akan dipandang negatif.
Melaksanakan tugas perkembangan sebagai remaja dengan baik, dan bersosialisasi dengan lingkungan secara langsung. Subjek dapat berpikir secara abstrak sesuai dengan norma-norma yang ada di lingkungan. Subjek mendapat dukungan penuh dari lingkungan, keluarga, teman dan pacar baik secara verbal atau non verbal. Subjek sangat bersemangat untuk menempuh pendidikan dan mencapai cita-citanya.  Mengacu pada pendapat Gottlieb (1983), dukungan orang terhadap pembentukan orientasi masa depan remaja dapat dilakukan melalui pemberian informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional bagi remaja.
Pembentukan indentitas merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai pada akhir masa remaja. Subjek berusaha mencari indentitas sebagai pelajar dan remaja. Tanda-tanda menuju hasil yang baik sudah terlihat dari pola perilaku subjek sehari-hari, dan bersemangat dalam menempuh pendidikan untuk mencapai cita-citanya. Menurut Jones & Hartmann (1988), perkembangan identitas selama masa remaja sangat penting karena akan memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa.     
Subjek kedua telah menerima perubahan dan kondisi fisiknya saat ini,  tetapi peran sebagai anak dan pelajar kurang dilaksanakan dengan baik. Masih banyak tugas-tugas perkembangan yang dilalui dengan kurang baik. Subjek memiliki banyak teman yang berarti mempunyai peran sosial yang baik dalam lingkungan, tetapi dukungan keluarga dalam hal mental dan nasehat sangat kurang. Dalam hal ini Nurmi (1991) menjelaskan bahwa meskipun teman sebaya dan lingkungan sekolah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan remaja, namun sesungguhnya orang tua tetap menjadi bagian yang penting bagi kehidupan mereka. Dukungan orang tua masih sangat dibutuhkan oleh remaja dalam memutuskan rencana masa depan anaknya.
Melaksanakan tugas perkembangan sebagai remaja dengan kurang baik, subjek terkesan tidak pada posisinya sebagai pelajar. Subjek lebih mengesplorasi kemampuan dalam mengemudikan sepeda motor yaitu dengan balapan liar. Masa remaja yang sedang krisis identitas dan berusaha mencari jatidirinya tercermin di subjek. Identitas masing-masing orang merupakan suatu hal yang kompleks, yang mencakup banyak kualitas dan dimensi yang berbeda-beda, yang lebih ditentukan oleh pengalaman subjektif daripada pengalaman objektif, serta berkembang atas dasar eksplorasi sepanjang proses kehidupan (Dusek,1991).
Subjek berusaha mengembangkan proses pencarian identitasnya secara mandiri, dan melalui hubungan sosial dengan teman-temannya. Menurut Josselson, 1980 (dalam Seifert & Hoffnung, 1994), proses pencarian identitas adalah proses di mana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik, yang berbeda dan terpisah dari orang lain dan bisa disebut dengan individuasi (individuation). Proses ini terdiri dari empat sub tahap yang berbeda, tetapi saling melengkapi, yaitu : diferensiasi, praktis dan eksperimentasi, penyesuaian, serta konsolidasi diri.   
Di dalam tahapan perkembangan anak, Stephen J. Ball (2000 : 1214) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu fase hidup  dimana individu-individu remaja tersebut sedang mencari dan membentuk konsep diri (self-concept) dan jati diri (self-identity). Senada dengan pernyataan tersebut, Nurhaya Nurdin menyatakan bahwa masa-masa teenager atau masa remaja ini adalah merupakan masa pencarian identitas diri (Nurdin: 2008). Masa yang ditandai dengan keinginan untuk membentuk kelompok-kelompok  di luar dari pengawasan orangtua dan keluarga. Tiap remaja ingin diakui oleh remaja lainnya, entah karena prestasi, kesamaan minat dan hobi ataukah karena alasan lain yang hanya mereka sendiri yang tahu.

Artikel

Peran Psikologi dalam Investigasi Kasus Hukum di Indonesia

Peran Psikologi dalam Investigasi Kasus Hukum di Indonesia Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga ...

Artikel Populer