Demokrasi dalam negara kita


Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 periode sebagai berikut:
1.      Periode 1945-1959 <Demokrasi Parlementer>
Demokrasi dengan system parlementer dimulai sebulan sesudah dilakukan proklamasi kemerdekaan  kemudian diperkuat Undang-undang Dasar 1949 dan 1950, dalam masa ini banyak di dominasi oleh partai-partai politik dan DPR. Masa ini diakhiri dengan dikeluarkannya dekrit presiden yang berisi kembali kepada UUD 1945.
2.      Periode 1959-1965 <Demokrasi Terpimpin>
Ditandai dengan mendominannya peranan presiden, menguatnya ABRI sebagai unsure politik, berkembangnya pengaruh komunis dan melemahnya peranan partai-partai politik. Dekrit Presiden dijadikan sebagai hokum untuk keluarnya penetapan Presiden, presiden juga dapat campur tangan terhdap legislative berdasarkan Peraturan Tata Tertib dalam Pen Pres NO. 14/1960 yaitu jika DPR tidak mencapai kata sepakat dalam penetapan suatu masalah.Disamping itu Presiden juga dapat campur tangan dalam bidang yudikatif berdasarkan UU No. 19/1964. Bahkan pada tahun 1960 Presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum dan membenuk DPR GR bukan berdasarkan pemilihan umum. Periode ini berakhir dengan pemberontakan G30SPKI.
3.      Masa 1965-1998 <Demokrasi Pancasila era Orde Baru>
Ditandai dengan di domonasi oleh peranan ABRI dan mayoritas tunggal golongan karya. Golkar desebut dengan mayoritas tunggal karena memperoleh kursi jabatan sebesar 65% setiap pemilu, dan sisanya diraih oleh PPP dan PDI. Menurut M. Rusli Karim masa orde baru di tandai dengan dominanya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan politik dan public, masa mengambang, dan monolitisasi ideologi rezim ini tumbang tahun 1998. Alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di rezim pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Dipasungnya demokrasi di zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia tahun 1997.
4.      Periode 1997-sampai sekarang <Deokrasi Pancasila era Reformasi>
Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Secara nyata banyak melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Misalnya amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir  di segala bidang, dan banyak hal positif lainnya selain itu ditandai dengan adanya kebebasan pers, tumbuhnya banyak parpol, dan diadakannya pemilu pertama era reformasi. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik.

Psychological health and bullying behavior among adolescent prisoners : A study of young and juvenile offenders

Penelitian dari Amerika, tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui kesehatan psikologis dan perilaku indikasi secara langsung, tidak langsung dan intimidasi pada sampel pelaku remaja. Sedangkan metode yang digunakan yaitu dengan melibatkan seratus dua remaja (usia 15-17 tahun) dan 100 dewasa (usia 18-21 tahun) pelaku yang dijadikan subjek. Semua mengisi General Health Questionnaire (GHQ-28) dan Direct and Indirect Prisoner behaviour Checklist (DIPC-R). Pelaku diklasifikasikan dalam empat kategori: "murni pengganggu" (hanya melaporkan indikasi perilaku bullying lain); "bully / korban" (melaporkan perilaku indikasi lain dari bullying dan penindasan); "korban murni" (hanya pelaporan "korban "perilaku);" tidak-terlibat "(tidak melaporkan apapun" pengganggu "atau" korban "perilaku). Data dianalisis menggunakan Kuder-Richardson-20, Analisis logit, ANOVA, MANOVA, dan korelasi.
Penelitian ini menemukan bahwa para remaja dilaporkan tertekan dan mengalami perilaku intimidasi lebih dari pelaku dewasa. Korban murni bully melaporkan gejala lebih terkait dengan masalah psikosomatis, depresi parah, kecemasan dan insomnia dibandingkan dengan pelaku murni dan mereka yang tidak terlibat. Korban bully dilaporkan lebih pada gangguan gejala somatik dan korban murni lebih ke masalah sosial. kesehatan psikologis murni pengganggu dan mereka yang tidak terlibat cenderung sama. Perilaku bully tidak langsung, langsung dan intimidasi semua berkorelasi positif dengan kesehatan psikologis. Penelitian ini memberikan bukti bahwa ada hubungan antara kesehatan psikologis dan perilaku bully tidak langsung, langsung dan intimidasi antara sampel remaja dipenjara.
Bullying dipandang sebagai salah satu bagian dari konsep tentang agresi. Pada kenyataannya, bullying merupakan topik yang banyak dipakai untuk pengujian empiris. Meskipun penelitian tentang agresi telah banyak pada beberapa dekade lampau, bullying menjadi fokus penelitian sosial dan psikologis skala besar pada akhir 1970 dan awal 1980, terutama di Norwegia, Swedia, dan Finlandia. Penelitian yang terbaru akhir-akhir ini banyak diselenggarakan di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Banyak investigator menyatakan bawa penemuannya dapat dibandingkan lintas budaya, namun hal ini dapat diperdebatkan tergantung dari cara di mana bullying didefinisikan secara operasional dalam kajiannya. Terdapat ketidaksepahaman dalam literatur sejauh ini mengenai bagaimana bullying sebaiknya didefinisikan. Beberapa peneliti memasukkan dalam klasifikasi bahwa bullying merupakan semua perilaku agresif kepada orang lain yang disengaja. Sedangkan beberapa peneliti lain merinci bahwa perilaku agresif yang ditujukan kepada orang lain tersebut haruslah dilakukan secara berulang, baru bisa disebut bullying.
Arora (1996) mencatat bahwa tidak seperti definisi yang digunakan oleh peneliti-peneliti lainnya, definisi Olweus mengenai bullying tidak berupaya menghubungkan motivasi, kesengajaan, atau kekuatan atas perilaku bullying. Peterson dan Rigby (1999) dalam Griffin dan Gross (2004) menjelaskan bullying sebagai ‘‘terjadi ketika seseorang dengan sengaja melukai atau menakuti seseorang yang lebih lemah daripada dirinya sendiri tanpa maksud yang baik. Hal ini mungkin dilakukan dalam cara yang bebeda: dengan olok-olokan yang menyakitkan, tindakan atau bahasa tubuh yang mengancam, pemanggilan nama julukan, memukul atau menendang.. bukanlah bullying jika dua orang memiliki kekuatan yang sama untuk melakukan perkelahian atau pertengkaran”. Meskipun para peneliti dapat memiliki banyak pengertian yang beragam mengenai bullying, Greene (2000) dalam Griffin dan Gross (2004) menyarankan bahwa terdapat lima ciri-ciri bullying yang disepakati para peneliti:
  • Bertujuan untuk mencelakai atau menakuti korban 
  • Agresi terhadap korban terjadi berulang-ulang 
  • Korban tidak memancing perilaku bullying dengan menggunakan agresi fisik atau verbal 
  • Terjadi dalam kelompok sosial yang dikenal 
  • Pelaku bullying lebih kuat (baik kuat sebenarnya ataupun dirasa kuat) daripada korban
Meskipun banyak instrumen untuk menilai perilaku bullying didasarkan pada self-report korban, menarik untuk dicatat bahwa definisi bullying khususnya berfokus pada perilaku aktual atau kemungkinan kesengajaan yang mendorong perilaku bullying daripada persepsi atau pengalaman korban. Kiranya akan bermanfaat jika pengembangan definisi dan metodologi yang lebih komprehensif untuk mencakup perilaku overt bullying beserta pengalaman subjektif korban.
            Perilaku bullying yang terjadi dipenjara tentunya secara kasat mata berbeda dengan yang terjadi di inggris. Di indonesia cenderung ke arah kasta. Siapa yang punya uang akan menempati posisi atas. Hal ini memicu perilaku bullying di dalam penjara semakin tinggi. Masalah kesehatan mental juga menghinggapi para napi. Lepas dari problem penyimpangan perilaku mereka sejak sebelum masuk penjara (sehingga menyebabkan mereka dipenjara), banyak napi yang bermental korup dan rusak. Fenomena handphone menunjukkan napi cenderung memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi mereka, meskipun hal itu melanggar aturan. Perilaku sewenang-wenang pada napi yang baru masuk dan yang tidak berduit juga menunjukkan bahwa kesehatan mental para tahanan juga perlu diperbaiki didalam lapas.
Perilaku tahanan yang ada di indonesia sangat dipengaruhi oleh maraknya suap yang ada dalam lapas. Mulai akar sampai ujung daun lekat dengan suap. Buruknya mental para penegak kebenaran dan kesehatan psikologis para tahanan memicu perilaku yang buruk pada semua penghuni penjara. Masalah psikologis lainnya yang terjadi di indonesia yaitu proporsi dari ruangan penjara. Banyak ruangan penjara di indonesia melebihi kapasitas yang seharusnya. Solusinya untuk membenahi masalah ini yaitu dengan mengurangi kepadatan lapas. Ini bisa disiasati dengan mengubah model hukuman. Napi dengan kasus tertentu tidak perlu masuk penjara namun melakukan aktivitas yang lain seperti kerja sosial. Reformasi lain harus dilakukan dengan menyentuh langsung psikologis petugas maupun napi. Pemberlakuan sanksi tegas untuk pelanggaran sekecil apa pun akan menggiring petugas maupun napi untuk tidak menyimpang. Misalnya asimilasi tidak diberikan kepada napi yang melanggar peraturan. Komitmen bahwa setiap pelanggaran pasti kena sanksi tentu akan membuat orang lain berpikir ulang untuk meniru atau ikut-ikutan melanggar.
Perbaikan mental dan kesehatan psikologis para civitas penjara bisa dimulai dengan memberikan penekanan akan pentingnya pengaruh lingkungan sosial terhadap penentu perubahan tingkah laku para penghuni penjara. Peran aktif dari pemerintah harus nyata, dibarengi oleh sikap posiif dari civitas penjara dan penghuninya. Dengan hal ini, akan dapat membangun mental psikologis yang baik nantinya. Penghuni penjara juga akan mentaati peraturan tanpa melakukan intimidasi dan bullying pada napi lainnya.

Psikologi Forensik

Definisi

Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum.

Sejarah

Pada tahun 1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan ingatan orang - suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hokum. Kemudian John Watson juga mengemukakan bahwa psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.
Pada tahun 1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang the Witness Stand. Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang lebih resisten daripada insan hukum terhadap gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan. Dia menuduh bahwa pengacara, hakim, dan bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat bahwa yang mereka butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik hanyalah common sense.
Prof. John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk menanggapi dakwaan tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan terhadap Munsterberg. Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah, dituduh telah membesar-besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang psikolog, mengabaikan pertentangan pendapat yang terjadi di kalangan para psikolog sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan antara hasil laboratorium dan realita persyaratan hukum.
Tentu saja “pengadilan” itu menempatkan Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.

Serangan Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga baru 25 tahun kemudian psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan tetapi, tidak lama menjelang kematiannya sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore memperlunak kritiknya. Dia menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap menggunakan setiap cara yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara yang sehat, akurat, dan praktis.

Namun demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun 1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada ilmu-ilmu sosial dalam kasus dissegregasi Brown v. Board of Education. Kemudian, pada tahun 1962 Hakim Bazelon, yang menulis tentang the U.S. Court of Appeals untuk the District of Columhia Circuit, untuk pertama kalinya menyatakan bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental.

Kini, psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu, mereka juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. Kini psikologi forensik telah tiba pada suatu titik di mana terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal, program pelatihan interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang lazim, dan berbagai buku dan jurnal dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.

Artikel

Peran Psikologi dalam Investigasi Kasus Hukum di Indonesia

Peran Psikologi dalam Investigasi Kasus Hukum di Indonesia Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga ...

Artikel Populer