Penelitian dari Amerika, tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui kesehatan psikologis dan perilaku indikasi secara langsung, tidak langsung dan intimidasi pada
sampel pelaku remaja.
Sedangkan metode yang digunakan yaitu dengan melibatkan seratus dua
remaja (usia 15-17 tahun) dan 100 dewasa (usia 18-21 tahun) pelaku yang
dijadikan subjek. Semua mengisi General Health Questionnaire
(GHQ-28) dan Direct and Indirect Prisoner behaviour Checklist (DIPC-R). Pelaku diklasifikasikan
dalam empat kategori: "murni pengganggu" (hanya melaporkan indikasi perilaku
bullying lain); "bully / korban" (melaporkan perilaku indikasi lain dari
bullying dan penindasan); "korban murni" (hanya pelaporan "korban
"perilaku);" tidak-terlibat "(tidak melaporkan apapun" pengganggu
"atau" korban "perilaku). Data dianalisis menggunakan Kuder-Richardson-20,
Analisis logit, ANOVA, MANOVA, dan korelasi.
Penelitian ini menemukan bahwa para remaja dilaporkan tertekan dan mengalami perilaku intimidasi lebih dari pelaku dewasa. Korban murni
bully melaporkan gejala lebih
terkait dengan masalah psikosomatis,
depresi parah, kecemasan dan insomnia dibandingkan dengan pelaku murni dan mereka yang tidak terlibat.
Korban bully dilaporkan lebih pada gangguan gejala somatik dan korban murni lebih
ke masalah sosial. kesehatan psikologis murni pengganggu dan mereka
yang tidak terlibat cenderung sama. Perilaku
bully tidak langsung, langsung dan
intimidasi semua berkorelasi
positif dengan kesehatan psikologis.
Penelitian ini memberikan bukti bahwa
ada hubungan antara kesehatan
psikologis dan perilaku bully tidak
langsung, langsung dan intimidasi
antara sampel remaja
dipenjara.
Bullying dipandang sebagai
salah satu bagian dari konsep tentang agresi. Pada kenyataannya, bullying merupakan
topik yang banyak dipakai untuk pengujian empiris. Meskipun penelitian tentang
agresi telah banyak pada beberapa dekade lampau, bullying menjadi fokus
penelitian sosial dan psikologis skala besar pada akhir 1970 dan awal 1980,
terutama di Norwegia, Swedia, dan Finlandia. Penelitian yang terbaru
akhir-akhir ini banyak diselenggarakan di Inggris, Australia, dan Amerika
Serikat. Banyak investigator menyatakan bawa penemuannya dapat dibandingkan
lintas budaya, namun hal ini dapat diperdebatkan tergantung dari cara di mana
bullying didefinisikan secara operasional dalam kajiannya. Terdapat
ketidaksepahaman dalam literatur sejauh ini mengenai bagaimana bullying sebaiknya
didefinisikan. Beberapa peneliti memasukkan dalam klasifikasi bahwa bullying
merupakan semua perilaku agresif kepada orang lain yang disengaja.
Sedangkan beberapa peneliti lain merinci bahwa perilaku agresif yang ditujukan
kepada orang lain tersebut haruslah dilakukan secara berulang, baru bisa
disebut bullying.
Arora (1996) mencatat
bahwa tidak seperti definisi yang digunakan oleh peneliti-peneliti lainnya,
definisi Olweus mengenai bullying tidak berupaya menghubungkan motivasi,
kesengajaan, atau kekuatan atas perilaku bullying. Peterson dan Rigby
(1999) dalam Griffin dan Gross (2004) menjelaskan bullying sebagai
‘‘terjadi ketika seseorang dengan sengaja melukai atau menakuti seseorang yang
lebih lemah daripada dirinya sendiri tanpa maksud yang baik. Hal ini mungkin
dilakukan dalam cara yang bebeda: dengan olok-olokan yang menyakitkan, tindakan
atau bahasa tubuh yang mengancam, pemanggilan nama julukan, memukul atau
menendang.. bukanlah bullying jika dua orang memiliki kekuatan yang sama
untuk melakukan perkelahian atau pertengkaran”. Meskipun para peneliti dapat
memiliki banyak pengertian yang beragam mengenai bullying, Greene (2000)
dalam Griffin dan Gross (2004) menyarankan bahwa terdapat lima ciri-ciri
bullying yang disepakati para peneliti:
- Bertujuan untuk mencelakai atau menakuti korban
- Agresi terhadap korban terjadi berulang-ulang
- Korban tidak memancing perilaku bullying dengan menggunakan agresi fisik atau verbal
- Terjadi dalam kelompok sosial yang dikenal
- Pelaku bullying lebih kuat (baik kuat sebenarnya ataupun dirasa kuat) daripada korban
Meskipun banyak instrumen untuk menilai perilaku
bullying didasarkan pada self-report korban, menarik untuk dicatat
bahwa definisi bullying khususnya berfokus pada perilaku aktual atau
kemungkinan kesengajaan yang mendorong perilaku bullying daripada
persepsi atau pengalaman korban. Kiranya akan bermanfaat jika pengembangan
definisi dan metodologi yang lebih komprehensif untuk mencakup perilaku overt
bullying beserta pengalaman subjektif korban.
Perilaku
bullying yang terjadi dipenjara tentunya secara kasat mata berbeda dengan yang
terjadi di inggris. Di indonesia cenderung ke arah kasta. Siapa yang punya uang
akan menempati posisi atas. Hal ini memicu perilaku bullying di dalam penjara
semakin tinggi. Masalah kesehatan mental juga menghinggapi para napi. Lepas
dari problem penyimpangan perilaku mereka sejak sebelum masuk penjara (sehingga
menyebabkan mereka dipenjara), banyak napi yang bermental korup dan rusak. Fenomena
handphone menunjukkan napi cenderung memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan
pribadi mereka, meskipun hal itu melanggar aturan. Perilaku sewenang-wenang
pada napi yang baru masuk dan yang tidak berduit juga menunjukkan bahwa
kesehatan mental para tahanan juga perlu diperbaiki didalam lapas.
Perilaku
tahanan yang ada di indonesia sangat dipengaruhi oleh maraknya suap yang ada
dalam lapas. Mulai akar sampai ujung daun lekat dengan suap. Buruknya mental
para penegak kebenaran dan kesehatan psikologis para tahanan memicu perilaku
yang buruk pada semua penghuni penjara. Masalah psikologis lainnya yang terjadi
di indonesia yaitu proporsi dari ruangan penjara. Banyak ruangan penjara di
indonesia melebihi kapasitas yang seharusnya. Solusinya untuk membenahi masalah
ini yaitu dengan mengurangi kepadatan lapas. Ini bisa disiasati dengan mengubah
model hukuman. Napi dengan kasus tertentu tidak perlu masuk penjara namun
melakukan aktivitas yang lain seperti kerja sosial. Reformasi lain harus
dilakukan dengan menyentuh langsung psikologis petugas maupun napi.
Pemberlakuan sanksi tegas untuk pelanggaran sekecil apa pun akan menggiring
petugas maupun napi untuk tidak menyimpang. Misalnya asimilasi tidak diberikan
kepada napi yang melanggar peraturan. Komitmen bahwa setiap pelanggaran pasti
kena sanksi tentu akan membuat orang lain berpikir ulang untuk meniru atau
ikut-ikutan melanggar.
Perbaikan
mental dan kesehatan psikologis para civitas penjara bisa dimulai dengan
memberikan penekanan akan pentingnya pengaruh
lingkungan sosial terhadap penentu perubahan tingkah laku para penghuni penjara. Peran aktif dari pemerintah
harus nyata, dibarengi oleh sikap posiif dari civitas penjara dan penghuninya.
Dengan hal ini, akan dapat membangun mental psikologis yang baik nantinya.
Penghuni penjara juga akan mentaati peraturan tanpa melakukan intimidasi dan
bullying pada napi lainnya.
hallo ini kittyn..punya topik mengenai culture shock ga?thx b4..
BalasHapus